Dengan penerbitan buku Pram dalam Belenggu ini saya anggap tuntaslah model periodisasi kehidupan Pramoedya Ananta Toer sebagai manusia, saudara tertua, pengganti orang tua, teman seprofesi, pesaing dalam mencari kebenaran hidup, dan musuh dalam kehidupan sebagai manusia setengah waras akibat sindrom warisan orang tua, walau akhirnya kami menemukan persepsi yang sama tentang makna hidup dengan jalan pintas yang berbeda. Pramoedya Ananta Toer sukses pada akhir hayatnya, sedangkan saya berhasil gagal menjelang akhir hayat saya.
Persepsi yang sama saya maksudkan adalah supaya hidup orang harus kerja. Pendapat yang gagah-gagahan itu berkat renungan sang begawan, yang tersingkir dari akar rumputnya dan mati mengenaskan di negri orang: sang Multatuli. Dia mengatakan, Tugas manusia adalah menjadi manusia itu sendiri. Kata-kata mutiara yang sederhana itu, bagi bapak Pramoedya Ananta Toer, adalah senjjata untuk menguak pencerahan bagi bangsanya dan anak-anak jasmani dan rohaninya.