Jika boleh mengingat, pertemuan saya dengan Islam dan Jawa mungkin sejenis pertemuan dengan diri yang mengetarkan. Hingga hari ini, saya masih merasakan getaran itu.
***
Di masa itu saya benar-benar terbenam dalam penghayatan/ Saya mulai menyadari saya harus mulai mengenali diri saya sendiri (baca: man arofa..). Mengenali saya ini siapa, dari mana dan hendak ke mana. Saya menemui faktisitas diri: saya orang jawa yang beragama Islam itu harus rela menerima kemestian bahwa saya “terpaksa” lahir di sebuah dusun di Jawa, yang dengan seluruh perangkat tradisi, budaya, dan praktik keseharian yang membentuk diri, berusaha memandang dan memberi makna hidup, bahkan terhadap ajaran agamanya. Pencarian itu berujung: saya Jawa, saya Islam! Sejak itu, saya seperti baru memulai sebuah perjalanan.