Mendengarkan suara Attar di zaman sekarang adalah mendengarkan bisikan dari dunia timur pada zaman yang sudah terpisah jauh. Mungkin ada banyak pembisik lain dari ranah yang sama yang lebih kita kenal: Rumi misalnya, atau Firdausi. Tapi Attar penting justru karena dia sederhana dan ringkas. Mantiquttair merupakan bisikan yang dipampatkan dalam satu buku, versi yang jelas lebih menyenangkan dan lebih bisa dinikmati bagi sebagian orang daripada Matsnawi-nya Rumi sebanyak enam jilid yang lebih sering dijadikan bahan pamer daripada benar-benar dibaca secara menyeluruh.
Betapa sering kita menutup telinga dan memaksa membuat banyak kasus di negeri ini yang menunjukkan betapa level toleransi kita dalam hidup terkadang sangat rendah. Isu tentang ahmadiyah dan syi’ah yang berujung kekerasan, celotehan anti pemeluk agama lain di medsos yang seperti logis tapi justru hanya igauan yang dangkal dan menyesatkan, ataupun debat umum antar pemeluk agama yang bertujuan saling menjatuhkan, merupakan sederet contoh yang miris. Attar konon seorang Sunni, tapi dia mengadopsi banyak kearifan dari legenda Syi’ah, dia juga toleran soal agama: Tenanglah, diam; Lupakan yang islam dan yang bukan islam; jauhkah rasa takut kekanakkanakan, Ada gema wahdatul adyan (persatuan agama-agama) dalam bisikannya yang kemudian digaungkan juga dengan lebih gamblang oleh Ibnu Arabi.
Mendengarkan suara Attar adalah sebuah awal untuk membuat kita lebih bijak dalam menjalani kehidupan modern yang kian centang perenang, menoleh pada diri sendiri yang selama ini diselimuti ego, merendahkan suara yang selama ini selalu tinggi. Suara Attar adalah bisikan, anomali yang penting kita tengok di saat sekarang kita sangat suka berteriak saling memaki, merasa benar sendiri, tak hanya dalam beragama, tapi juga dalam mencari keuntungan materi.