“Tapi, kenapa tadi aku mencium bibirnya? Padahal, aku tidak ingin melakukannya… Ah, sial, rasa iba ini, belas kasihan keparat! Selalu saja, mereka mencoba menjeratku kembali, dan kali ini aku tertangkap.”
Kesalahannya bermula ketika ia, Letnan Anton Hofmiller mengajak seorang gadis lumpuh untuk berdansa. Tersinggung, marah, frustasi, sedih, gadis itu meledak dalam tangis. Pertemuan awal yang tak menyenangkan itu, bagaimanapun menggiring mereka ke hubungan yang demikian akrab, hingga satu hari, si gadis memegangi kedua pipi Sang Letnan dan mencium bibirnya. Mungkinkah perasaan cinta tumbuh di antara mereka? Bagaimana membedakan perasaan cinta dan rasa iba? Di novel terbaiknya ini, Stefan Zweig mengacak-acak anatomi perasaan manusia yang rapuh sekaligus penuh tikungan.