Padahal sesungguhnya, tema-tema keperempuanan tersebut lahir dan muncul secara reflektif dalam puisi-puisi awal yang saya tulis pada tahun 80an. Namun dalam perkembangannya, terutama setelah saya suntuk membaca buku dan mengikuti diskusi, seminar, workshop tentang masalah gender dan isu-isu keperempuan, serta mendalami konsep konsep teologis tentang kesetaraan gender dalam Islam, tema tema tersebut saya sadari sepenuhnya dan bahkan telah menjadi jalan bagi saya untuk membela eksistensi kaum hawa melalui karya sastra. Dan kemudian, baik secara tersirat maupun tersurat, telah menyatu ke dalam visi dan orientasi proses kreatif saya dalam berkarya.
Karena itu saya kadang memberi alasan lugas, pesanpesan yang ingin saya sampaikan melalui puisi tidak seutuhnya dapat dipahami oleh pembaca pada umumnya, kecuali unsurunsur estetiknya, diksi dan susunan kata-katanya. Jika pun ada yang menuju ke arah pesan-pesan itu, masih memerlukan jembatan panjang, jembatan tafsir dan ulasan-ulasan rumit melalui kritik sastra. Walau begitu, di sela waktu penulisan novel, saya masih melahirkan dan mempublikasikan karya puisi dan cerpen. Oleh karenanya, saya juga tidak pernah menolak untuk disebut novelist namun paspor kesusastraan saya masih tercatat sebagai penyair.