Tidak ada yang baik-baik saja dengan kehilangan. Tidak Aku ingat betapa senewennya diriku ketika kompas pramukaku hilang. Perasaan yang mengiring adalah cemas, marah, dan keinginan untuk menuduh siapa biang keladi atas hilangnya kompas itu. Kompas itu hadiah ulang tahun dari Ibu. Aku sampai menuduh adikku yang masih kelas satu SD sebagai tersangkanya. Meski akhirnya Ibu membelikan kompas baru yang lebih bagus, kesan istimewa kompas yang lama tak akan pernah tergantikan.
Namaku Dhuha. Sudah enam bulan ini aku kehilangan kompas yang paling berarti dalam hidupku, yaitu Ibu.
"Kita tak bisa menghalangi apa pun yang akan pergi, walau dengan alasan sangat mencintai." Begitu nasihat Ibu ketika aku kehilangan kompas pramuka dulu.
Rasanya, nasihat itu tidak bisa menenangkanku saat mengetahui Ibu sudah tidak ada di rumah. Ibu pergi tanpa pamit di suatu pagi buta, meninggalkan hanya secarik kertas berpesan, "Jangan cari Ibu.” Tanpa ada janji untuk kembali dan petunjuk ke mana ia pergi.
Aku marah dan menuduh Bapak sebagai tersangka penyebab Ibu pergi. Ibu, telah menjadi kompas bagi Bapak, aku, dan Saba, dengan cara kami masing-masing. Bila kau jatuhkan kompas hingga rusak, panahnya akan mengarah tak tentu, membuatmu bingung menentukan pilihan ke depan. Itulah yang terjadi kepada kami bertiga.
Tidak ada yang baik-baik saja dengan kehilangan. Ibu pernah berkata kepadaku, "Kita tak bisa menghalangi apapun yang akan pergi, walau dengan alasan sangat mencintai." Namun, nasihat itu tidak bisa menenangkanku saat mengetahui Ibu tidak lagi ada di rumah. Ia pergi tanpa pamit di sebuah pagi buta, meninggalkan secarik kertas berpesankan untuk jangan mencarinya. Sepi. Tanpa janji untuk kembali dan atau petunjuk ke mana ia pergi.