Detail Saya Tidak Boleh Berbicara Sejak Bayi Demi Kebaikan-Kebaikan - Edi AH
Menulis sastra seyogianya merupakan usaha-usaha membebaskan diri. Adagium ini belakangan menguat benar di kepala saya –sampai pada detik-detik menjelma hantu. Saya yakin hantu itu ada, sebab kegaiban, keajaiban, sebutlah mistisisme, setia mendampingi kehidupan kita, tetapi bagaimana menjelaskannya secara empiris?
Saya pikir melalui medium cerita, hantu-hantu bisa dijelaskan. Dengan syarat, saya harus membebaskan diri dari belenggu-belenggu narasi besar realisme-positivisme yang kerap membosankan dan melelahkan karena lebih sering membentur tembok-tembok.
Tetapi, saya enggan memilih surrealisme. Sebab, pikir saya, surrealime yang melembaga merupakan bentuk lain dari realisme-positivisme belaka. Bukankah ini setamsil saja dengan usaha membebaskan diri dari satu narasi untuk sekadar terbekap dalam belenggu narasi lainnya? Dalam istilah Scott Peck, seorang penganut New Age, itu serupa: “Jump from the frying pan to the fire.”
Sekilas, memang amat mungkin orang akan melihat beberapa cerpen saya bergaya surrealisme. Tetapi, ijinkan saya ngotot, saya tidak menyukai surrealisme. Saya sesungguhnya semata memuja kebebasan imajinasi, keluasannya, kedalamannya, kepekatannya, lompatannya, kegilaannya, bahkan ketakterbayangkannya.