Pada 1990-an, musik punk mulai masuk ke dalam masyarakat Indonesia. Bertepatan dengan perjuangan politik nasional melawan rezim Orde Baru Presiden Soeharto, punk dengan cepat diadopsi sebagai titik temu mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah represif saat itu. Pada 2018, dua dekade setelah jatuhnya Soeharto, punk terus memikat dengan sikap bebas, gaya non-konformis, dan etos independennya. Namun di Jawa, pulau sentral di Indonesia, punk memiliki fungsi baru dan agak tidak terduga: dakwah. Tren muslim punk mengungkapkan bahwa kelompok agama konservatif mengadopsi etos punk dan citra pendakwah, bahwa semakin banyak punk menjadi otoritas agama, dan bahwa pasar yang berkembang menjadikan simbol punk dan Islam menjadi komoditas. Saling pengaruh aneh antara punk dan Islam menimbulkan banyak pertanyaan tentang apa artinya menjadi punk dan menjadi muslim, tidak hanya di era budaya konsumen dan globalisasi, tetapi juga di saat kebangkitan Islam.
Berdasarkan hasil kunjungan etnografis selama tiga bulan di Jawa, buku ini mempertanyakan cara punk Jawa mengartikulasikan Individualisme punk dengan normativitas Islam. Singkatnya, fenomena punk muslim mengajak kita untuk menilai kembali batasan-batasan diskursif yang biasa kita gunakan untuk membatasi dunia retorika 'punk' dan "Islam', serta membuka perdebatan baru tentang parameter dan paradoks dakwah punk. Buku ini menganalisis dan menegaskan keterkaitan dinamis antara agama, ekonomi pasar, dan budaya populer di abad 21.
Harga 80.000 Judul: Punk Kok Muslim Penulis: Elise Imray Papineau Penerbit: Semut Api Tahun Terbit: 2022 Halaman: 188 hlm.