Keberadaan geng, preman, dan milisi telah menjadi ciri yang melekat dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Selama masa Orde Baru, mereka digunakan sebagai alat untuk menegakkan tertib sosial versi negara dan melanggengkan kekuasaan rezim, misalnya “kewenangan” yang dimiliki organisasi pemuda untuk menggebuk para pengkritik rezim dengan mengatasnamakan Pancasila. Demokratisasi pasca 1998 tidak mengakibatkan lenyapnya kelompok-kelompok ini, melainkan mereka beradaptasi dan mencari celah dalam konteks politik yang berubah. Membela agama—bukan lagi membela rezim—kini menjadi salah satu alasan keberadaan mereka. Lalu desentralisasi menguatkan unsur etnisitas sebagai landasan ormas. Jenis baru ormas-ormas jalanan ini memadukan perburuan rente secara predatoris dengan klaim merepresentasikan kelompok sosial-ekonomi yang terpinggir.
Didasarkan pada riset lapangan yang intens dan panjang, buku ini menyuguhkan analisis komprehensif mengenai hubungan yang berubah antara kelompok-kelompok ini dengan pihak berwenang dan kekuasaan politik pasca Orde Baru. Dalam mengonsolidasi kuasa kewilayahan mereka di tingkat lokal, kelompok-kelompok ini pada taraf tertentu berhasil merebut legitimasi yang tidak semata-mata dilandaskan pada tindak pemalakan dan kekerasan. Dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia, mereka pun berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal parlemen. Bagaimana mereka memanfaatkan posisi ini untuk meningkatkan daya tawar mereka, dan bagaimana dunia politik formal memanfaatkan “layanan” mereka akan sangat memengaruhi masa depan kehidupan sosial-politik di Indonesia.