Istilah “padat modal” digunakan dalam sektor bisnis untuk menunjukkan sebuah usaha yang membutuhkan modal sangat besar baik untuk pengembangan bisnis dan aktivitas operasionalnya serta didukung oleh teknologi terbarukan. Demikian pula cara kerja partai politik dalam pemilu di Indonesia.
Sejak sistem pemilu liberal diadopsi Indonesia pada 2009, partai-partai politik memiliki keseragaman dalam melakukan strategi kampanye. Hal ini terlihat pada strategi distribusi dan promosi yang dilakukan. Meskipun ada perbedaan di antara partai politik terutama pada aspek karakteristik personal, harga psikologis, dan dampak citra, perbedaan tersebut tertutup dengan besarnya kuasa padat modal yang berlaku pada sistem pemilu liberal.
Modal tidak lagi terbatas pada kebutuhan finansial, tetapi juga modal ideologis, modal prestasi kinerja masa lalu, modal profil, modal psikologis, modal citra partai yang dilekatkan pada sosok tertentu, modal jaringan lokal, modal strategi kampanye kepada masyarakat (canvassing), modal pendekatan ke tokoh dan lembaga yang berpengaruh serta modal strategi mempromosikan ke media massa termasuk media sosial.
Buku ini adalah tangkapan mendalam tentang sistem “padat modal” yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019 di Indonesia. Dengan menggunakan empat variabel teori marketing-mix (product, price, place, promotion), Ridho Al-Hamdi mendiagnosa strategi kampanye empat partai politik (Gerindra, PKB, Nasdem, dan PKS) yang memiliki kesuksesan kinerja saat kampanye.
Pengantar Sistem politik Indonesia adalah suatu kecamuk yang sukar untuk diterjemahkan ke dalam satu pola. Ridho Al-Hamdi, melalui kajiannya, berusaha mengungkap salah satu sisi dalam sistem tersebut. Ia meneliti pola kerja partai politk pada era Pemilu 2014 dan 2019 dengan menggunakan teori marketing mix.