Pada 1985, Gayatri Spivak menerbitkan esai karyatamanya, “Dapatkan Subaltern Berbicara?”, yang mendedah tentang ketidakmampuan orang-orang yang tak berdaya untuk mengekspresikan diri. Subaltern pada mulanya berarti opsir junior di Angkatan Darat Inggris, tetapi telah dikooptasi oleh kelompok peneliti akademis, terutama yang tertindas oleh kekuatan kolonial. Spivak berpendapat bahwa pengalaman kelompok semacam itu mau tak mau telah terdistorsi oleh perspektif kaum elite yang mendeskripsikannya – misalnya, akademisi.
Dalam esai yang canggih dan tajam ini, Spivak juga memperluas makna subaltern sehingga berlaku juga secara spesifik untuk para perempuan di negara-negara kolonial. Ia memeriksa peristiwa bunuh diri seorang perempuan India, yaitu Bhubaneswari Bhaduri, pada 1926. Awalnya, peristiwa bunuh diri itu dianggap disebabkan oleh keresahan Bhaduri lantaran kehamilan di luar nikah. Spivak menekankan bahwa Bhaduri sebenarnya tidak sedang hamil. Ia mengatakan bahwa Bhaduri bunuh diri karena tidak tahan untuk ambil bagian dalam pembunuhan politis. Perempuan ini “tidak didengar,” kata Spivak, karena didefinisikan hanya dalam batas-batas gender yang sempit.
“Dapatkah Subaltern Berbicara?” menempatkan Spivak di jajaran feminis yang memperhitungkan sejarah, geografi, dan kelas tatkala memikirkan tentang kaum perempuan.