Menulis puisi tak serta-merta dalam suasana hening. Saya bisa menulis di keriuhan sebuah kafe, di atas bus, dan seterusnya.
Saya seorang pejalan, selalu merasa terpukau pada kota—utamanya kota yang belum saya singgahi—dan saya akan menandai satu gedung atau apa saja agar saya tak tersesat. Sebuah penanda bagi kota ternyata amat penting.
Kota ada dalam puisi. Dan, puisi kerap bersanding dengan kota (kota dunia). Betapa kota juga telah menjadi tanda bagi sebuah puisi.
Selain kota, saya juga acap tergoda pada malam. Bagi saya, malam begitu panjang daripada siang. Lalu tak bisa abai pada manusia; persoalan “kita” juga sangat menggoda.
Maka, dalam kumpulan puisi ini, saya buat tiga bagian: kota, kita, dan malam.
Saya tak punya kepentingan apakah puisi-puisi di dalam buku Kota, kita, Malam memberi masukan kepada mereka yang peduli pada kota, atau memiliki pesan bagi kebaikan sebuah kota dan manusianya. Tugas saya hanya menulis, dengan penuh keriangan dan karenanya saya menganggap ini sebagai permainan.