Dapat dikatakan bahwa karya-karya Rumi, juga para sufi yang lain, tidak lain merupakan puisi-puisi abadi dalam pemahamannya yang luas dan mendalam. Kenapa abadi? Karena karya-karya itu sebenarnya merupakan bayang-bayang langsung dari kemahaindahan Tuhan yang abadi, yang tidak mungkin lekang oleh siang, oleh malam dan oleh segala atribut apa pun yang menunjuk kepada kefanaan waktu.
Jadi, dapat diungkapkan bahwa pendar-pendar keindahan abadi yang berbungkus puisi-puisi itu berlayar dengan nyata di tengah hamparan tak terkira samudra kefanaan yang mengepung segala partikel di alam semesta ini. Sungguh sangat menakjubkan bahwa kefanaan itu ternyata dikodratkan untuk “sanggup” menampung perahu-perahu keabadian yang senantiasa dilabuhkan oleh orang-orang terkasihNya di sepanjang sejarah kehidupan.
Tidak usah bingung. Tidak usah cemas. Karena kita sebagai para pembaca puisi-puisi abadi itu dianugerahi kemungkinan untuk bersentuhan langsung dengan genangan madu spiritual yang dikandungnya. Tentu saja mesti dengan adanya isti'dad atau kesiapan rohani yang seharusnya kita sematkan terlebih dahulu di dalam diri kita. Artinya adalah bahwa harus ada “alat komunikasi” yang tersambung dengan puisi-puisi abadi itu. Tanpa adanya kesiapan itu, puisi-puisi abadi sekalipun hanya akan terpampang sebagai deretan idiom-idiom yang kusam, layu dan tidak berdaya.