Semakin dewasa kita semakin sulit menyadari emosi. Salah satunya karena kebiasaan menekan emosi demi menunjukkan betapa dewasa kita. Meski tengah marah atau sedih, kita terbiasa memasang wajah datar untuk meredam semua gejolak dalam diri agar orang lain memandang kita baik-baik saja.
Belum lagi jika kita ditempatkan sebagai manusia dengan segala kesibukannya: selalu fokus pada pekerjaan yang tak pernah habis dan masa depan tak terlihat. Lalu kita lupa untuk benar-benar hidup saat ini, untuk mendengar suara-suara dari dalam diri. Kita seolah tidak memiliki waktu untuk memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah emosi. Padahal, manusia merasakan 34.000 emosi yang silih berganti, yang selalu mencoba untuk berkomunikasi dengan sang pemilik emosi. Sayang, kita sering menganggapnya bisikan semata lantas mengabaikannya. Emosi-emosi itu lalu mengendap, membuat kita merasa ada yang salah dengan diri kita tetapi tidak tahu sumber penyebabnya. Tiba-tiba kita merasa sedih atau kosong.
Emosi adalah bagian kehidupan yang membantu manusia untuk bertahan hidup dan melestarikan keturunan. Ia pelindung paling setia tiap kali manusia bertemu situasi yang tak nyaman. Kewajiban kita adalah mengakui keberadaanya, lalu menyediakan waktu untuk bicara dengannya. Sebab ketidakmampuan mengenali emosi akan membuat kita menderita.
Ayu adalah seorang perawat kesehatan jiwa yang bekerja merawat keadaan psikologis serta emosional pasien-pasiennya. Semua lapisan emosi adalah lapisan tempatnya bekerja. Ayu membantu setiap orang untuk mengenali, berhadapan, dan mengendalikan emosi. Tulisan di buku ini merupakan bagian dari komunikasi terapeutik yang selama ini ia praktikkan, yang berguna untuk membuka pintu pemecahan masalah dan mendorong setiap orang menuju jalan pemulihan. Sebab kita kerap mengalami masalah emosi, tetapi tidak pernah menyadarinya.