Bagi masyarakat Madura, nyai tidak hanya menjadi simbol keilmuan dan keagamaan, tetapi juga sebagai simbol perlawanan atas berbagai ketidakadilan. Meskipun ketokohannya kerap dianggap tidak sentral di dalam masyarakat patriarki di Madura, ternyata para nyai memiliki peran yang signifikan, yang berhasil melakukan negosiasi sosio-kultural sehingga pengaruhnya melampaui segala asumsi yang mengecilkan eksistensinya. Itulah sebabnya, masyarakat Madura menempatkan sosok nyai sebagai ulama perempuan dalam berbagai konstruksi, yaitu konstruksi sejarah, agama, sosial, dan budaya. Dalam konstruksi budaya, nyai dipandang ajeg dalam menjaga tradisi. Dalam konstruksi sosial, mereka ditempatkan sebagai sosok karismatik dalam perekat kehidupan sosial. Dalam konstruksi agama, nyai menjadi juru selamat sekaligus motivator dalam beragama, dan dalam konstruksi produk sejarah, nyai merupakan pewaris lembaga keagamaan yang harus dijaga silsilahnya. Kepatuhan masyarakat Madura terhadap ulama merupakan kepatuhan tulus tanpa syarat, dan berlangsung secara turun-temurun. Mereka memahami tentang arti pengharapan sehingga tidak perlu mempertanyakannya mengapa, kepada siapa, dan untuk apa kepatuhan tersebut dijalankan.