Makanan sebagai saluran ekspresi dalam menulis sebenarnya telah mengakar dalam tradisi menulis sejak masa kuno Nusantara. Istilah boga jejaknya mula-mula terlacak dari kata bhoga/bhogi dalam prasasti dan naskah Jawa kuno. Artinya, jauh sebelum era industri kuliner, makanan sudah menjadi ekspresi kenikmatan dan kesenangan. Bedanya, jika sekarang makanan dinikmati manusia secara gelojoh hingga disia-siakan menjadi sampah (food waste), dahulu makanan dinikmati sekaligus dimuliakan secara sakral.
Maka, memerlakukan makanan sekadar sebagai objek kenikmatan tentu berbeda halnya dengan memperlakukan makanan sebagai medium untuk merefleksikan kehidupan melalui tulisan. Dengan memaknai makanan sebagai bagian dari bumbu kehidupan melalui tulisan, kita dapat belajar menghayati kelindan aneka persoalan yang saling berhubungan, mulai dari politik, sosial, budaya, agama, sastra, hingga cinta.
Ini bisa dicicipi dari buku 'Sepinggan Indonesia yang sejatinya bukan kisah tentang liyan, melainkan tentang kita sendiri. Ditulis dengan gaya tutur yang renyah, kumpulan tulisan dalam buku ini diselimuti kegembiraan dan kegetiran yang dinarasikan wajar, tidak berlebihan, dan menggunakan makanan sebagai aforismanya. Tidak ada kesan menggurui; malah kita seperti berguru bagaimana menjalani hidup di belantara dunia yang kian pelik dengan masalah ini. Seolah kita diingatkan dengan pesan bijak yang selalu saya ingat: manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dibuang…
Bagi yang sudah jengah melihat konten-konten kuliner, aksi-aksi para celebrity chef, dan muak dengan tayangan mukbang, 'Sepinggan Indonesia' bisa jadi alternatif untuk memaknai makanan dalam kehidupan kita sehari-hari di negeri tercinta: Indonesia.
Fadly Rahman (Dosen Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran/Sejarawan Makanan)
Penulis: Yuanita Maya Penerbit: Tiga Saudara Tebal: 300 hlm Dimensi: 14,5x21 cm ISBN: 978-602-52943-3-4