Nico Vink, Seidjah: Melintasi Tapal Batas Kepicikan Kolonial, Jakarta, YOI, Sept 2020, viii+396 hlm . . Ia seorang gadis Belanda yang lahir di Nijkerk, sebuah kota kecil yang mirip desa besar. Sebetulnya, namanya Siebrigje. Akan tetapi, ia lebih suka dipanggil Siedjah. nama itu diberikan oleh sahabat-sahabatnya di Hindia. Memang, sesungguhunya hidupnya baru dimulai pada tahun 1924. Di Hindia. ketika itu, ia belum lagi berumur 20 tahun. Ia ingin mengembangkan sayap, ingin mencicipi kehidupan yang lebih luas daripada Nijkerk, lebih luas daripada negeri Belanda. Ia tak hanya ingin menjadi guru bagi anak-anak berkulit putih berambut pirang di negerinya sendiri. Ia ingin yang lain. Ia ingin menyeberangi laut dan mengajar anak-anak berkulit sawo matang di Hindia Belanda.
Dengan modal keberanian dan idealisme anak muda, Siedjah melanglang ke Nusantara. Ia bertemu dan berhadapan dengan kolonialisme Belanda yang rabun jauh, yang mengecewakannya. Ia bukan orang seperti itu. ia tak ingin rabun jauh seperti itu.
Dari lubuk hatinya, Siedjah ingin lebih dekat dengan dan ingin lebih paham masyarakat dan budaya-budaya Nusantara. ia ingin agar masyarakat dan budaya-budaya itu dihargai sebagaimana mestinya. ia gusar dan geram pada sikap petinggi-petinggi kolonial yang melecehkan masyarakat dan budaya-budaya itu. Ia teramat sangat memahami dan mendukung budaya itu. Ia teramat sangat memahami dan mendukung keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Di Hindia Belanda selama 18 tahun, ia menggapai cita-citanya dengan penuh semangat: mengajar di Ambon, Jawa, dan Aceh. Ia menemukan cinta, melahirkan anak semata wayang dan putus cinta. lalu, Jepang datang. Matahari terbit yang membawa kemurungan. Dan, kita yang membaca cerita kisah nyata Siedjah, berjalan di sampingnya.