Detail Sebuah Seri Novel (Cover Baru) by Okky Puspa Madasari
Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 Prosa Tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan. Lombok, Januari 2011 Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? -Maryam Hayati
5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2011 Prosa Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan? Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti. Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan. Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran. Pokoknya, 86!