"...justru sekarang inilah aku merasa lebih erat terkait kepada bangsaku. aku lebih-lebih mencintatnya dari yang sudah-sudah. Kami begitu sering saling tidak mengerti, aku dan bangsaku itu. Bagi bangsaku kadang-kadang aku terlalu abstrak. terlalu 'barat', mereka tidak bisa mengerti, dan mereka Itu bagiku kadang-kadang terlalu malas, membikin aku berputus asa oleh sikapnya yang tidak mau berbuat apa-apa dan salah mengerti. Aku jadi marah dan tidak sabar lagi oleh kesalahan-kesalahan mereka yang kecil-kecil. Kadang-kadang mereka itu membikin aku pahit, tapi nasib mereka dan tujuan hidupku adalah satu: kami senasib dan sepenanggungan dan tetap senasib sepenanggungan, di masa yang lalu dan di masa depan."
Renungan Indonesia merupakan dokumen sejarah paling otentik tentang seorang tokoh bangsa mengenai hubungan pribadi dirinya dengan bangsa yang diperjuangkan, dicintai, meskipun kerap tidak dipahaminya. Ditulis di tiga tempat pengasingannya Cipinang, Boven Digul, dan Banda Neira, bertanggal 24 Maret 1931 sampai 28 Maret 1938, buku yang merupakan himpunan sutat-surat kepada istri pertamanya di Belanda, Maria menarnpilkan sekaligus memotret kondisi sosial politik Indonesia pada saat itu. Sjahrir tidak hanya menulis mengenai bagaimana seharusnya masyarakat dalam sebuah negara diupayakan, dididik, dan dibentuk demi tercapainya maksud bersama, ia juga secara luwes menggambarkan betapa indahnya alam Indonesia Timur, buku, surat-surat kabar yang dibacanya pandangannya mengenai kondisi dunia yang sedang dihadapinya dan yang paling menarik dari semua itu, Bung Kecil menuliskannya dengan humor khas seorang pesakitan: jenaka namun ironis.