Seperti sufi, Mala melepaskan segala yang dimilikinya. Ia mengkaji ulang kehidupan dalam pelariannya. Sebagai buruan justru ia bisa memaafkan musuh-musuhnya. Di puncak kepasrahan tujuannya hanya satu, menemukan Nora. Namun, ternyata menerima kenyataan dan berdamai dengan diri sendiri tak semudah itu. Banyak gugatan tersurat yang disampaikan Putu Wijaya terhadap keyakinan-keyakinan yang telah pakem di masyarakat pada bagian ini. Gugatan itu terasa sangat kuat, tak sekadar tawaran untuk melihat dari sudut pandang lain.
Lewat tetralogi ini beserta percakapan di dalamnya yang sekelas dengan dialog di drama-dramanya, Putu Wijaya kembali meneguhkan dirinya sebagai penulis papan atas Indonesia. Buku ini tak hanya menjadi capaian tersendiri bagi Putu Wijaya, tetapi juga menjadi karya penting dalam sastra Indonesia.
Rachmat Djoko Pradopo mengatakan bahwa Putu Wijaya berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar. Efek yang dirasa pembaca atau penonton dalam karya-karya Putu Wijaya adalah keterkejutan atau teror terhadap diri manusia sendiri. Ada yang kadang-kadang tidak dapat diduga dalam diri manusia, walaupun sebenarnya teror itu ada dalam diri manusia itu, dalam alam bawah sadarnya.