AHMADI, berandalan kampung berkumis tebal, tiba-tiba muncul memimpin pasukan kecil melawan pemerintah. Si Kumis banyak lagak ini berhasil menghasut para penduduk supaya mengangkat senjata menyerang pasukan tentara yang datang dari pulau seberang. Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan, dengan Jibral, pemuda rupawan namun penakut yang menjadi pujaan hati para gadis. Kampung yang sunyi di tengah cengkraman perang itu pun tak kunjung sepi dari ragam masalah sehari-hari; kesulitan hidup, ancaman, perkelahian, sampai percekcokan sesama penduduk. *** Lampuki adalah novel yang amat menyentuh dan mencerahkan. Berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah keruntuhan Soeharto, novel ini mampu menggambarkan secara terperinci tentang perang, perilaku sosial, karakter masyarakat, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan; sebuah wajah daerah rawan yang tak mudah terlihat apalagi dipahami orang luar. Meski diceritakan dengan gaya yang mengundang gelak-tawa, tapi tidak menghilangkan simpati kepada orang-orang tak berdosa yang jatuh sebagai korban. Tidak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap begitu dalam dan tepat sasaran. Sungguh kisah yang unik, tajam, cerdas, dan amat jenaka.