“Yang lain mati, yang lain lagi lahir untuk mati. Manusia dikutuk tidak bebas menjalani hidupnya karena ada pembatasan dalam dirinya.”
Ketiga anaknya tidak hanya menginginkan ia segera mati. Mereka bahkan berharap jika kematian itu tiba, ibu mereka selayaknya mati di tempat yang paling jauh dan sepi. Dengan begitu rasa kecewa mereka lantaran pembagian warisan yang tidak adil bisa sedikit terobati. Setelah jadi mayat pun, tidak ada rencana untuk repot-repot mengurus pemakaman.
Tapi benarkah perasaan sayang seorang anak kepada ibunya dapat lenyap begitu saja, atas alasan apa pun? Tidak adakah ruang sedikit pun untuk setidaknya menunda kebencian?
Dari kisah Maya dan ketiga anaknya, barangkali tak kita temukan sejenis jawaban. Malah yang terus-menerus tampak ialah diri sendiri.