Katanya, untuk beranjak dan melanjutkan kehidupan kadang perlu dibantu orang lain. “Aku ngerti, dia berarti banget buat kamu dan kamu nggak bisa dapetin dia, aku tahu. Makanya kamu pilih aku. Waktu kamu ajak aku jalan, aku tahu aku bukan pilihan pertama kamu. Aku udah siap dengan semua konsekuensi itu...” Dan menjadi realistis katanya adalah pilihan yang tepat. “Terima kasih sudah menjaga aku tetap waras....” Tapi bukankah kebahagiaan seharusnya kita yang ciptakan sendiri? “Kinan ingin berterima kasih pada mereka dengan cara berhenti bersedih dan mulai belajar menjadi bahagia tanpa bertumpu dengan orang lain.Kinan tahu ini mungkin nggak masuk akal buat sebagian orang. Tapi Kinan yang paling tahu diri Kinan sendiri. Kapan Kinan harus lari, kapan Kinan harus berhenti.” Dan menjadi realistis itu tetap harus jujur dengan perasaan kita sendiri bukan? “Gue pengin memiliki lo bukan karena berkompetisi dengan siapa pun. Bukan juga karena gue butuh seseorang di samping gue. Bukan pengin punya seseorang yang bisa gue pamerin ke orang-orang. Jadi jelasin sebelah mananya gue anggap lo barang? Menurut lo selama ini gue ngapain? Apa lo nggak sadar sama sekali? Does he love you better than I do?” Ini adalah bagian akhir dari kisah empat orang yang harus mengurai benang kusut di antara mereka. Karena setiap orang punya ruang khusus untuk untuk seseorang yang sulit untuk digantikan oleh orang lain. Mereka mengukirnya sedemikian rupa hingga tak ada senyawa apa pun yang mampu menghapusnya begitu saja.