Saya menuliskan buku utuh ini di bulan Ramadhan 2020 dengan energi yang “tak bisa dihentikan”. Selalu ada hal yang baru, segar, dan memukau untuk saya selami, renungkan, susun runtut, kemudian tuliskan. Bagaikan melayari samudra, pada setiap kajian dan renungan terhadap khazanah ayat, hadis, sirah Rasul Saw, tafsir, hingga lanskap pemikiran dan fatwa para ulama dan cendekiawan yang saya kenali, selalu terbentang lebih luas lagilah panorama dan cakrawala yang musykil saya tuntaskan.
Padahal, buku ini hanya mengangkat “tema sederhana” yang lazim dikenal, yakni iman, takwa, dan ihsan. Hanya saja, mungkin di sinilah letak khasnya, saya melakukannya dengan CINTA saya. Karenanya, buku ini memang lebih tepat disebut “Beginilah Islamku: Catatan Personal yang Saya Yakini secara Rohani dan Intelektual perihal Jalan Beriman, Bertakwa, dan Berihsan”.
Saya lantas sangat meyakini bahwa menjadi seorang “mukmin, muslim, dan muhsin” amatlah sederhana di permukaannya, yakni dengan tetap menjadi manusia belaka. Di hadapan Allah Swt dalam samudra iman, ia berlabuh pada “negasi segalanya, termasuk diri, dan semata Allah Swt yang tegak”; di hadapan samudra syariatNya (perintah dan larangan), ia berlabuh pada “syariat adalah otoritas kebenaran yang sempurna dan haq, adapun seluruh tafsir, takwil, dan fatwa adalah otoritas yang dinamis, relatif, dan majemuk”; di hadapan seluruh makhlukNya, ia berlabuh pada “semata ihsan, yakni ‘sesaudara dalam iman atau sesaudara dalam kemanusiaan’; ia adalah akhlak karimah.” Memang, secara filosofis, kesederhanaan keyakinan tersebut sungguh sangat tidak sederhana; ia begitu luas, jauh, detail, dan ruah bagai bah—sungguh tak terbatas. Di antara tamsilnya ialah cara filosofis saya dalam memahami dan menjalankan relasi kompleks hanifan musliman, subulus salam-shirathal mustaqim, khairu ummat, dan ummatan wasathan sebagai sebuah jembatan emas utuh yang menyambungkan relasi iman, takwa, dan ihsan. Betul, ini hanya menurut saya yang dhaif. Selebihnya, hanyalah walLahu a’lam bish shawab.