Mengapa baru ketika sesuatu hilang untuk selamanya, kita merasakan betapa besar artinya bagi kita? Mengapa sesuatu yang ditutup-tutupi - entah dalam sejarah sebuah bangsa atau dalam keluarga sendiri - bisa berdampak begitu besar? Mengapa saya tidak bisa membuang apa pun? dan mengapa hewan yang telah punah, lukisan yang dirusak, dan buku yang dibakar terasa jauh lebih menarik dan lebih memesona dibandingkan seluruh sisanya yang masih ada?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan keinginan dalam diri saya untuk menyusun semacam inventaris kehilangan, sebuah daftar mengenai hal-hal yang kita tahu pernah ada, tetapi kemudian lenyap - entah karena sengaja dimusnahkan atau karena menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu.
Sebab sesuatu yang hilang-apakah orang yang disayangi atau seikat kunci- akan meninggalkan ruang realitas dan memasuki ruang mitos, berubah dari sesuatu yang faktual menjadi hal yang fiktif. Lalu muncullah peran bercerita, semua kisah dan anekdot yang membuat duka cita menjadi lebih tertahankan. Sebab bercerita itu membantu. Bercerita adalah pelipur lara terbaik dan pengalaman kehilangan, saya mendadak menyadari, adalah awal dari semua budaya.
Sebuah buku, menurut hemat saya, adalah terbaik dan terindah untuk menyimpan sesuatu. Buku seperti itulah yang ingin saya tulis dan rancang. Sebuah buku yang mengumpulkan dan menceritakan berbagai hal yang saya rindukan. Sebuah buku duka dan penghiburan. Buku yang menyoroti bukan hanya kehilangan, tetapi juga yang perolehan. Sebab tidak ada yang dapat dihadirkan kembali, namun segala sesuatu dapat dibuat agar bisa dialami lagi.